August 9, 2010

Tentang menerima dan membiarkan pergi

Saya bingung harus mulai dari mana. Karena inspirasi tulisan ini ketika saya membaca cerpen dalam suatu blog berjudul Garis Akhir yang ditulis oleh Kezia Gabriella Agusta. Mungkin juga karena saya lagi ingin 'serius' menulis atau mungkin juga karena saya sedang 'menghadapi' sendiri kenyataannya.

Tentang menerima dan membiarkan pergi.

Mengutip dari tulisan Garis Akhir, "Somehow, I forget one thing. When you are ready to love someone, you must ready to be hurt by the one you loved. In short, broke up. Or sweeter, we can say, letting go." Saya semakin sadar bahwa ga ada yang bisa berlangsung selamanya di dunia ini.

Saat kita memulai suatu hubungan, pertemanan, pacaran, HTS-an, TTM-an atau singkatan labil lainnya yang marak dibicarakan umumnya. Saya lupa, bahwa dari itu semua, suatu hari semuanya harus punya akhir. Sama halnya ketika Kezia menuliskannya, di saat kita memulai, kita juga harus mengakhiri. Kapanpun, dimanapun...siapapun.

Terkadang saya mempertanyakan kenapa dalam hal menerima, harus kuat juga untuk menerima dan menahan 'rasa sakit'. Kenapa harus ada 'sakit'? Pernahkah kalian berpikir satu-satunya cara untuk tidak menerima sakit hati adalah untuk tidak menerima seseorang dalam hidup kita? Atau lebih tepatnya mungkin untuk tidak terlanjur jatuh cinta atau sayang dengan seseorang.

Tapi konyol. Justru semakin kita pungkir, kita tidak benar-benar jatuh cinta dan sayang dengan seseorang, maka disitulah kita semakin tidak kuat untuk berkata tidak, bahwa sebenarnya kita memang benar-benar terlanjur sayang bahkan cinta.

Kenapa rasanya sakit untuk melihat seseorang itu pergi? Dan rasa sakit juga ada ketika dia ada. Di saat dia gak ada, saya mencari-cari. Di saat dia ada, saya benci untuk menyadari bahwa saya masih peduli akan keadaan dia. Saya jadi teringat lagu Hello, goodbye - The Beatles. Ketika saya mati-matian pergi dari dia dengan melawan kenyataan bahwa saya peduli, dia datang. Dan ketika saya kembali lagi untuk belajar lebih menerima, dia pergi. Kenapa saya masih peduli?

Kenapa saya masih peduli ketika dia hanya menceritakan kesenangan dia pribadi ? Kenapa saya masih peduli ketika dia menceritakan bagaimana capainya dia dengan kesibukan yang dilakukan? Kenapa saya masih peduli dengan kesuksesannya yang dibanggakan dan pamerkan? Dan kenapa saya masih peduli bahkan ketika dia tidak peduli pada saya? Lebih parahnya lagi, saya mempertanyakan ini berulang-ulang, kenapa saya harus terlanjur sayang sama dia?

Hasilnya nihil, saya gak menemukan jawabannya. Mungkin rasa sayang saya ini tidak akan pernah ada alasannya. Sama seperti kita harus menerima orang lain. Tidak perlu ada banyak alasan untuk dikatakan ketika kita mau menerima seseorang.

Ketika kita sudah mulai menerimanya kembali kita juga harus bisa membiarkannya pergi lagi sewaktu-waktu.

"Letting go doesn't mean giving up, but rather accepting that there are things that cannot be."

No comments: