August 29, 2010

Defense mechanism

Yah sekarang inilah aku dengan 'defense mechanism' yang aku punya.

Aku mengetikkan kalimat itu sambil kembali ber-flashback dengan masa lalu yang sebenarnya terpaksa aku putar kembali.

***

"Soulmate? Friendship? Atau apalah itu. Apa yang harus aku tulis tentang topik itu? Aku bahkan gak mau kepikiran lagi tentang itu semua." Aku kesal bergumam dalam hati.

"Ini memang topik kita bulan ini. Soulmate dan friendship. Pikirkan idenya, deadlinenya 2 minggu lagi. Paling gak, kalau sudah dapat ide untuk alur cerpennya kasih tahu saya. Thanks, Feb" Mba Fitya tersenyum ke arahku.

Dan aku sekarang duduk berhadapan dengan laptopku. Tanpa berusaha untuk memulai pekerjaan yang deadlinenya dua minggu lagi.

Di rumah, aku mulai memaksa otakku untuk bekerja tapi tidak bisa sama sekali. Kamu tahu, bekerja dengan paksaan itu tidak membuat kita menjadi senang. Malah sebaliknya. Harusnya aku memang tidak perlu mengirimkan CV-ku pada majalah terkenal untuk menjadi penulis lepas cerpen majalah bulanan tersebut. Sedikit menyesal untuk sekarang ini.

***

Saat itu di penghujung SMA, kelas 3. Aku merasa tidak nyaman dengan suasana kelas baru. Dengan teman-teman baru yang tidak terlalu dekat dan tidak aku kenal sebelumnya. Dan dengan orang ini. Carla. Sebelumnya aku tidak mengenal dan bahkan tidak pernah berpapasan muka dengannya. Mungkin karena ia tidak terlalu populer di sekolah kami. Suasana kelas 3 membuatku menjadi malas untuk pergi sekolah. Ditambah lagi aku duduk dengan teman-teman yang asing dan tidak dekat denganku sebelumnya. Apalagi ada 1 anak perempuan yang iseng sekali dan kalau becanda tidak pakai 'otak'. Jelas bukan sekali tipe teman yang aku cari untuk menjadi 'sahabat'. Sebaiknya kamu perlu tahu dulu arti teman dan sahabat itu jelas berbeda.

Sudah berjalan sekitar 1 bulanan di kelas 3 dan sudah memulai untuk melakukan ulangan harian setiap harinya. Apalagi kami sebagai anak kelas 3 harus selalu 'terima kenyataan' untuk setiap harinya melatih otak dengan soal-soal setiap mata pelajaran untuk latihan try out dan ujian nasional. Kebetulan kami adalah golongan yang katanya anak-anak santai (baca : IPS yang artinya Ikatan Pelajar Santai). Yak, kami anak-anak Sosial yang santai. Jadi, yah santai saja kalau ada ulangan harian. Hari itu sudah dijadwalkan untuk ulangan harian Ekonometri. Hitungan ekonomi yang sampai sekarang aku tidak tahu alasannya kenapa harus selalu ada grafik naik turun yang membingungkan. Aku tidak bisa. Carla duduk di kursi belakangku. Kami 1 barisan. Ia memang anak yang pintar, tak perlu dipungkiri lagi. Soal yang dibagikan guru kami bertipe sama. Aku stuck pada soal terakhir. Sedangkan aku melirik ke belakang. Carla mengerjakannya dengan lancar.

"Sstt." Aku memanggil Carla dan ia menengok.

"Nomor terakhir gimana caranya?" Aku bertanya.

"Tunggu tunggu." Kata Carla.

Setelah menunggunya menyelesaikan pekerjaannya dulu sekitar 2 menitan. Aku kembali memanggil.

"Car, Car gimana nih? Gue ga bisa nih nomor terakhir bantuin dong!" Aku panik dan mendesak Carla untuk membantuku.

"Ya udah sini! Mana kertas lu?" Carla meminta.

"Hah?" Aku bingung.

"Kertas lu sini!!"

"Oh oke oke." Aku langsung cepat memberikan kertas ulanganku padanya.

Waktu tinggal sebentar lagi menunjukkan pulang sekolah.

"Ayo kumpulkan semuanya!!" Guru Ekonomi kami berteriak.

"Car, Car udah belum?"

Carla masih sibuk menuliskan jawaban di kertas ulanganku.

"Car, mana??!!"

"Ahhhhh.........!!!!!! Iya nih udah udah." Carla berteriak dan panik juga.

Aku langsung mengambil kertasku dan mengumpulkannya.

Mungkin itu awal kami dekat. Sepulangnya aku berterima kasih padanya karena telah membantuku.

Aku jadi mulai tertarik untuk mengenal Carla lebih dekat lagi. Aku mulai sering bercerita hal-hal kecil yang tidak seharusnya penting untuk diceritakan. Bahkan aku sendiri tidak paham kenapa bisa begitu, karena aku adalah tipe orang yang sulit untuk terbuka dengan orang lain. Tidak mudah untuk menceritakan segala sesuatunya yang aku alami, tapi aku mampu menceritakannya pada orang yang baru beberapa bulan aku kenal.

Aku mulai merasa Carla adalah benar-benar 'sahabat' ketika ia mengajarkan banyak hal tentang Tuhan. Mungkin karena keyakinan yang ia pegang. Atau idealisme yang ia punya untuk keyakinannya. Aku bukan seorang yang selau mengandalkan Tuhan. Aku tidak religius. Tapi dari Carla aku diajarkan banyak hal tentang bagaimana kita harus berpasrah pada Tuhan kita, tentang mencintai dan mengasihi sesama terutama orang-orang yang pernah menyakiti kita, tentang tujuan utama kita yaitu Sang Khalik. Tentu kita semua tahu, bahwa pada akhirnya kita akan kembali menghadap Sang Khalik. Ternyata aku salah, aku hanya memandang Carla sebelah mata, aku dibohongi oleh penampilan luarnya yang tidak pernah serius, selalu bercanda, selalu berbuat iseng. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang jauh lebih hebat dari sahabat-sahabatku sebelumnya. Carla ternyata memiliki banyak yang hal yang belum aku tahu dan orang lain tahu. Aku bangga menjadi sahabatnya. Aku berubah. Berubah untuk berusaha menjadi lebih baik dan ingin memberikan yang terbaik untuk Tuhanku. Hingga saat itu aku mulai percaya Carla dan ia pun begitu. Aku berpikir, mungkin kekuatan pertahananku untuk selalu menjadi 'orang baik' adalah Carla. Yah, ia adalah 'defense mechanism' untukku.

Tapi aku ternyata salah. Aku selalu sedih dan marah mengingat tentang waktu yang terlalu cepat berlalu, aku selalu sedih dan marah kenapa aku dipertemukan oleh orang yang sudah pasti dan yakin aku anggap 'sahabat', aku selalu sedih dan marah kenapa harus begini akhirnya dan blablabla lainnya yang membuat aku depresi terus menerus karena 'kehilangan'.

Aku dan Carla beda kampus. Aku hanya seorang mahasiswa kupu-kupu (baca : kuliah pulang kuliah pulang) dikarenakan kampusku memang jauh. Dan Carla pun tahu itu. Carla, mahasiswa aktif. Aktif dalam 2 organisasi, aktif ukm olahraga, dan lainnya yang membuatku muak. Apa aku salah? Hei ada apa denganku? Bukankah 'sahabat' yang baik selalu mendukung sahabatnya? Mungkin aku salah. Dan aku terus berpikir aku memang 'sahabat yang salah' untuknya. Aku salah dipertemukan dan didekatkan dengan Carla. Aku terlalu mempercayainya. Perhatiannya hilang untukku dan ia hanya perhatian pada segala kesibukan yang ia punya. Ia berbeda. Bahkan seringkali aku memandangi profil picture yang selalu berubah-ubah di facebooknya sambil berpikir, "Wow dia memang HEBAT sekarang, banyak teman, banyak organisasi, banyak pengalaman, banyak hiburan yang didapat, banyak kesibukan, banyak kegiatan."

Aku seorang yang sia-sia sekarang, bahkan untuk sekedar menjelaskan bagaimana sakitnya diberlakukan, aku tidak sanggup. Dia tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan bagaimana sedihnya aku. Dia hanya peduli dengan bagaimana pentingnya organisasi, bagaimana pentingnya pelayanan, bagaimana cara untuk mendapatkan dana yang lebih untuk acara organisasinya, bagaimana serunya acara organisasi yang ia ikuti dan lainnya.

Tapi anehnya, kenapa aku masih peduli ketika dia hanya menceritakan kesenangan dia pribadi? Kenapa aku masih peduli ketika dia menceritakan bagaimana capainya dia dengan kesibukan yang dilakukan? Kenapa aku masih peduli dengan kesuksesannya yang dibanggakan dan pamerkan? Dan kenapa aku masih peduli bahkan ketika dia tidak peduli padaku? Apa maksudnya memperkenalkan Sang Khalik kepadaku kalau pada akhirnya dia dibutakan dengan dunia? Lebih parahnya lagi, aku mempertanyakan ini berulang-ulang, kenapa aku harus ber'sahabat' dengan dia? Aku memang jahat berpikiran seperti itu.

Sampai akhirnya aku benar-benar tidak pernah lagi berhubungan dengan Carla, aku menghapus contactnya dari handphoneku, aku block dia sebagai friend di account jejaring sosial milikku. Aku benar-benar ingin dia 'hilang' dariku. Mungkin sumpah serapah sudah tidak mempan lagi untuknya. Sulit untukku untuk berdiri sendiri tanpanya. Tanpa memiliki 'defense mechanism' dari seorang sahabat. Mungkin dia sedang bertanya-tanya alasan mengapa aku menjauh darinya.

And these are the words for your confusion to me.

One month ends, i managed to suffer greatly for not communicating with you.
I just wanted to say, thanks for the indifference that you gave.
Thank you for introducing God to me.
Because of Him, i remain strong in the indifference.
And i learned from the indifference that you gave, i have a defense mechanism.
And you surely know that.
I wish we can close again.
But you would agree that when we are shattered, we can't feel anything anymore as it used to when we are close to each other.
Now, that friendship sounds like friendshit.
And one more thing that i realized that i didn't mean anything to you.
May you always be happy with pride and the things you always be proud of in your life.
Because what i know, you're the only human who can live alone with the ability that you have.
I'm so happy with it all.

Mungkin aku terlalu dekat dan terlalu cepat percaya pada Carla. Aku teringat akan sebuah quote, 'Hubungan itu seperti telapak tangan. Jika telapak tangan dikepalkan kuat-kuat, tidak akan ada udara di dalamnya dan sulit untuk bebas bernafas, tetapi jika dibuka lebar-lebar akan terasa bebas dan ringan.'

Tanpa sadar aku selalu mendoakannya diam-diam. Mendoakan yang terbaik untuknya. Mungkin alasan kita diberikan kecocokkan berteman dengan seseorang selama bertahun-tahun namun akhirnya terpisah juga karena memang ada yang lebih baik dari kita untuknya.

Pada akhirnya aku sadar, aku harus 'move on'. Aku tidak bisa mengandalkan sahabat lamaku lagi. Aku harus pindah. Dan aku yakin sekarang, bukan Carla lah yang menjadi 'defense mechanism' untukku. Tapi pengalaman dari peristiwa 'kehilangan' inilah yang menjadi 'defense mechanism' untukku, karena ketika kita merasa disia-siakan sedemikian rupa, kita pasti akhirnya sadar untuk memiliki suatu 'defense mechanism'. Itu yang aku dapat dari salah seorang penulis favoritku. Yah, apakah kamu memilih 'defense mechanism' untuk siap kehilangan seorang sahabat atau soulmate-mu? Atau apakah kamu lupa akan satu hal? Bahwa bagaimanapun juga, tidak ada yang abadi di dunia ini.

Yah sekarang inilah aku dengan 'defense mechanism' yang aku punya.

***

"Feb, sudah jadi cerpennya?" Tanya Mba Fitya kepadaku.

Aku tersenyum, "Sudah, mba." Sambil memberikan beberapa lembar kertas yang aku pegang.

Mba Fitya membaca perlahan cerpen yang aku buat. Aku menunggu.

"Well, amazing! Kata-kata yang kamu gunakan beda dari yang lain. Terutama di bagian akhir pada pesan ceritanya. Hebat kamu."

"Aku gak hebat, mba. Biasa aja. Yang hebat justru si tokoh kedua dari cerpen itu."

"Lho kenapa?" Mba Fitya bingung.

"Karena dia, aku bisa menulis banyak hal dan terinspirasi." Aku berbicara mantap.

"Apa ini pengalaman pribadi kamu, Feb?"

Aku tersenyum dan langsung keluar dari ruangan Mba Fitya.

***

Terima kasih untuk hari pertama bertemu di kelas 3 SMA.
Terima kasih untuk bantuan ulangan Ekonometri.
Terima kasih untuk perhatian yang diberikan sewaktu dulu.
Terima kasih untuk cerita-cerita yang dibagikan.
Terima kasih untuk inspirasi yang aku dapat darimu.
Terima kasih untuk banyak hal yang kita lalui dulu sewaktu SMA.
Dan terima kasih karena telah memperkenalkan Tuhan kepadaku.

Mungkin terima kasihku yang terakhir adalah alasan mengapa aku tidak akan pernah bisa melupakan kamu, teman. Tidak lagi 'sahabat'.

1 comment:

nuansa entis said...

saluttttttt,,, gw juga pernah punya pengalaman kayak gni..