September 12, 2022

Tentang Ayah

Rasanya masih ada. Sesak, sedih, Hilang.

Tepatnya kemarin malam, saya bermimpi tentang ayah. Lupa tak tau dimana. Tapi saat itu tergambar jelas di mimpi, keadaannya tegang, panik, dan kacau. Ayah tersedak hingga tak bisa bernapas, saya mencoba berusaha sekuat tenaga melakukan pertolongan pertama. Tapi tak tertolong. Saat bermimpi, saya menangis sejadi-jadinya, terisak. Hingga saya terbangun, saya pun masih menangis. Cukup lama. Hati ini tak siap walau hanya mimpi. 

Saya tak dekat dengan ayah. Bukan berada di suatu hubungan antara ayah dan anak perempuan yang akrab. Malah canggung untuk berkata-kata jika bersama. Mungkin perkara kebiasaan yang menjadi tidak biasa dan seoah-olah tidak apa-apa tapi sebenarnya kenapa-kenapa. Ada rahasia yang saya tahu ayah sembunyikan. Ada kesalahan dan penyesalan ayah yang saya tahu betul belum selesai hingga saat ini. Sehingga hal itu seakan menjadi tanggung jawab yang tak selesai-selesai dirampungi ayah. Memang sudah tugas seorang ayah bertanggung jawab dalam keluarga. Namun satu hal ini berbeda. Mungkin ayah sempurna menjadi seorang ayah pekerja keras, penafkah istri dan pelindung anak-anaknya. Tapi ayah bagi saya belum bisa bertanggung jawab untuk kepahitan yang dialami istri dan anak-anaknya hingga saat ini. Atau mungkin salah satu dari kami belum memaafkan atau menerima?

Terlepas dari yang terjadi sampai saat ini. Hati saya memang tak siap ditinggal ayah. Janji saya untuk diri sendiri adalah belum sempat merekam suaranya. Suatu saat mungkin akan berguna untuk saya ketika rindu itu muncul dan ayah sudah tak ada. 

Untuk ayah, biarpun bibir ini tak pernah berucap. Doaku selalu ada untukmu. Sehat dan terus dilindungi. Saya cinta ayah.





May 26, 2022

Harga yang Pas untuk Sebuah Tiket

Maksudnya disini adalah tiket pertunjukkan apapun di bidang entertainment atau menghibur penonton seperti konser, festival musik, live music, teater, drama musikal, stand up comedy, dan lainnya.

Hi!

Sudah lama gak menulis ya. Ingin saya bilang mau aktif kembali tapi takut hanya wacana seperti lalu-lalu bilang mau aktif kembali, nyatanya hanya satu atau dua tulisan yang ditulis dan dipost. Trigger menulis kali ini didapat karena melihat blog seseorang yang aktif menulis lagi setelah sekian lama. Dan berpikir, kayaknya asik ya kalau nulis lagi. Apalagi nulis tentang apa yang lagi ada di pemikiran saat ini.

Berhubung pandemi perlahan (mungkin) akan menjadi endemi. Aktivitas-aktivitas sebelum pandemi sudah mulai diperbolehkan kembali seperti jadwal konser atau festival musik yang sudah banyak diumumkan kembali oleh para promotor Indonesia. Saya tertarik untuk menuli berkaitan hal tersebut.

Hampir saja saya berhasil membeli tiket salah satu festival musik ternama yaitu Java Jazz Festival 2022. Tapi hanya hampir. Berujung dari janjian mau nobar sama teman yang memang sudah lama tidak bertemu dan sepakat untuk nonton salah satu konser atau festival musik. Mulailah saya mencari beberapa festival musik dan yang terdekat jadwalnya adalah JJF 2022. Kebetulan melihat salah satu post story teman yang menjual tiket JJF 2022, saya langsung kontak beliau. 

Long short story, saya sudah deal dengan yang punya tiket, karena katanya beliau diberikan free oleh kantornya. Belum sempat bertemu untuk mengambil tiket dan bayar, dapat kabar bahwa tiket yang awalnya dibagikan free ditarik kembali dan mau dibagikan langsung OTS kepada karyawan. Padahal kalau bisa dapat, hanya dijual seharga Rp 350.000,- yang tadinya Rp 850.000,-. Think twice. Karena faktor usia yang tidak muda lagi, sudah terlalu cepat lelah berdiri dan kesana kemari berpindah venue saat festival musik, dan harga tiket yang menurut saya gak worth jika dengan keterbatasan waktu dan fisik sekarang ini, saya memutuskan untuk skip untuk nonton JJF 2022.

Boleh ya next festival musik aja.. Yang lain mungkin yang lebih murah? Mungkin.

Akhirnya tiket yang saya akan tonton adalah Musikal Petualangan Sherina. Sebenarnya saya sudah menonton drama musikal ini pertama kali tahun 2017 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Kalau ditanya how's the show? Saya selalu bilang, akan beli tiketnya lagi dan ajak keponakan untuk nonton jika suatu saat nanti diselenggarakan kembali. Sebenarnya di tahun 2020, promotor sudah ingin menyelenggarakan kembali namun karena pandemi yang tak kunjung berakhir dan sempat tertunda hingga 2 kali. Dan mudah-mudahkan tahun ini, pertunjukkan MPS berjalan lancar.

Tiket Early Bird ludes cepat. Hanya tinggal tiket dengan harga normal. Mahal. Tapi ketertarikan dan penantian saya dengan MPS cukup kuat sehingga tiket yang harganya cukup mahal saya beli. Setelah itu saya menerka perasaan ketika selesai membayar lunas tiket. Apakah akan ada perasaan menyesal? Semenit, dua menit, lima menit, satu jam, beberapa jam. Aman. Berarti ini salah satu pertunjukkan yang saya cintai bukan sekadar saya sukai.

Saya suka musik. Saya suka melihat pertunjukkan seni, apapun. MPS melengkapi keduanya. Dan lagi drama musikal ini dari film saat kecil dulu, yang gak pernah bosan untuk ditonton berulang kali. Saya cukup yakin, bulu kuduk dan hati saya bergetar lagi ketika ada di venue dan menonton kedua kali MPS.

Jadi, harga yang pas untuk sebuah tiket khususnya pertunjukkan entertainment itu berapa? Menurut saya, jawabannya tidak ada. Murah atau mahal relatif. Bisa jadi dibilang mahal ketika kita memang tidak benar-benar mencintai pertunjukkannya. Atau bisa jadi harga yang mahal itu bukan halangan karena kita berpikir 'kapan lagi kita bisa menontonnya kalau bukan sekarang?' 

Bisa gak kita mengukur seberapa puasnya kita dengan suatu pertunjukkan sebelum kita membeli tiket tersebut? Kalau kita cinta dengan pertunjukkannya (dilihat dari POV terhadap pelaku seni, karya seni, atau hal lain yang mendukung) kita pasti akan selalu mau ikhlas, terlepas puas atau tidaknya setelah menonton pertunjukkan. Ingat, mungkin saya bukan pelaku seni. Tapi saya tahu, bagi mereka para pelaku seni, banyaknya orang yang menonton pertunjukkan mungkin adalah bonus untuk mereka. Yang paling penting adalah kesan dan pesan (perasaan) yang disampaikan penonton untuk para pelaku seni. Karena karya mereka lahir dari hati dan keresahan. Untuk menjadi karya dibutuhkan usaha. Juga, untuk menjadi cerita butuh pengakuan dan apresiasi yang sebelumnya datang dari hati pula.

Beli tiketnya Musikal Petualangan Sherina, 1 - 3 Juli 2022. Selagi masih ada!

September 25, 2021

Blackout

Aku tahu persis rasanya mungkin hampir lewat

Sendiri tanpa orang terdekat

Menjadi dewasa lebih tepatnya orang tua ternyata rumit

Selalu berpura-pura baik padahal sekitar sadar bahwa ada yang tidak beres

Begitu rasanya sesak di dada 

Entah karena sakit fisik atau jiwa

Hari ini aku membuktikan bahwa baik saja tidak cukup

Sehat penting untuk diri dan tentunya support system

Mengingat sudah berapa kali terjadi

Dua kali, mungkin tiga, atau pernah sering terjadi

Tapi kuabaikan karena merasa bisa mengatasinya sendiri

Ternyata semua pecah hari ini

Berusaha kuat dengan fisik yang sudah lelah diajak kompromi

Berusaha waras dengan pikiran yang kadang kalut entah kemana

Detak jantung berdegup kencang, semua seakan menjadi putih tanpa warna

Apakah surga di depan mata?

Pelan turun, tanpa sadar jatuh tergeletak lemas tak berdaya

Berusaha meminta bantuan sayup sayup seketika hilang

Samar terdengar teriakan panik dari mereka yang peduli

Terima kasih, masih ada.

Berusaha mencerna di hilangnya sadar

Ada apa dengan tubuh ini? Atau pikiran ini?

Ternyata begini rasanya mengabaikan diri

Harusnya sadar, diri ini yang harusnya bahagia

Aku tak mau begini jika pada akhirnya merepotkan semua

Terima kasih telah tunjukkan harus apa setelahnya


Jakarta, 25 September 2021

May 2, 2021

7 Hari dan Hari-Hari Berikutnya

Sudah lewat 7 hari di sini. Adaptasi. Masih dengan beradaptasi untuk hari-hari seterusnya sampai kerasan dan menjadi nyaman. Adaptasi dengan lingkungan baru, kerjaan baru, teman-teman baru, dan yang baru nanti lainnya.

Belum terbiasa dengan laju mobil motor yang terlalu cepat, secepat lintasan di jalan bebas hambatan. Padahal banyak sekali hambatan di lingkungan baru ini, salah satunya lubang-lubang di jalan, tambalan kasar jalanan, atau salah satu lampu lalu lintas yang terlampau lama durasinya.

Banyak SPBU yang self service. Semakin canggihkah lingkungan ini? Atau terlalu hectic-nya orang-orang, layanan satu orang petugas SPBU tidak bisa cukup buat mereka? Toko buah besar selalu padat pengujung, terlihat dari parkir yang selalu penuh. Jalanan besar di antara jejeran ruko-ruko yang tidak kalah ramainya dengan jalanan ketika libur akhir pekan. Belum cukup terbiasa dengan tempat ini.

Terlalu ramai membuat pusing. Mungkin, kalau bukan karena pergi ke kantor atau membeli sesuatu yang dibutuhkan lebih baik di kos. Mengetik, merenung, mendengar playlist, sambil sesekali menengok ke kiri ke jendela luar. Bahagia masih ada dedaunan dan hijau yang dilihat. Dan sinar matahari yang memancar ke dalam kamar. Angin sesekali masuk membawa hawa sejuk. Kadang, malam pun tak pelu AC untuk tidur nyaman.

7 hari ini selesai dan hari-hari berikutnya akan ada apa lagi ya? Merenung sambil mendengar detak jam dinding. Dan ditemani suara dari jauh sana. Rindu ya.

April 25, 2021

Nomaden

Tangerang,

Di sini sekarang gue. 2021, satu tahun pandemi, mulai bekerja lagi di tahun 2020, mencoba hidup lebih mandiri, nomaden. Sudah 3 kali ganti tempat tinggal (kos-kosan). 30 tahun. Angka yang banyak ternyata, tapi gue malah belum merasa cukup banyak ilmu dan hidup yang diserap. Terlalu banyak penyesalan dan terlalu santai menjalani hidup sebelum usia sekarang. 'Mau jadi apa nantinya?', bahkan masih jadi pertanyaan besar di hidup gue. Gue bahkan nggak bisa decide mau jadi apa gue nantinya. Lebih tepatnya nggak punya goals sama sekali. Gue selalu bergerak dari satu ke yang lainnya berdasarkan kesempatan yang sekiranya menurut gue bisa gue jalani. Tapi gue nggak tahu 5 atau 10 tahun ke depan akan seperti apa atau menjadi apa.

Salah ya?

Kata seseorang ke gue, ada plus minusnya. Gue nggak hidup di satu titik dan memperbesarnya, tapi gue ada di satu titik lalu pindah ke titik-titik lainnya. Bisa luas juga, tapi who knows?

Kata seseorang lagi, gue harus menanyakan apa sih yang gue mau dalam hidup? Gue suka apa? Pertanyaan ini mungkin bisa menentukan gue akan jadi apa atau siapa ke depannya.

Gue bilang, "Gue suka nulis."
"Terus, kenapa lo nggak coba kerja nulis di media-media. Gue lihat, tulisan lo punya pemikiran sendiri selama ini."
"Tapi gue juga masih penasaran, mau belajar di brand seperti apa? Kayak gimana?"

Sampai akhirnya gue berhenti lagi di pekerjaan gue terakhir kemarin, advertising agency. Sebelumnya gue berniat setelah mendapatkan pekerjaan di periklanan lagi, gue mencoba untuk fokus dan stay, belajar untuk menerima, menetap, dan loyal. Keinginan itu kuat, sampai-sampai di pertengahan ada rasanya lagi ingin berhenti karena beberapa faktor. Mencoba mempertahankan lagi, bangkit lagi semangatnya untuk tetap stay. Ternyata suasana semakin membawa emosi gue, mulai mencoba lagi di tempat-tempat lain dan akhirnya ditawarkan di suatu brand F&B.

Takut?

Iya. Gue takut nggak bisa perform. Gue takut ekspektasi mereka di luar kemampuan gue. Gue takut gue nggak bisa adaptasi dengan lingkungan baru dan bekerjasama, Gue takut banyak hal yang belum terjadi buat gue besok, hari pertama gue kerja lagi, dan sekarang bukan main-main. Tuhan mengabulkan doa dan permintaan gue untuk berada di suatu brand. Apa gue mampu?

Hidup nomaden seseru itu, bisa punya pengalaman yang baru lagi. Tapi juga bisa menciptakan perasaan rindu dengan rumah. Gue mempertanyakan lagi, apa itu perlu? Di usia gue sekarang, mandiri itu perlu. Mungkin, perasaan rindu juga perlu. Sesekali berada jauh dari rumah, dari orang-orang yang gue sayang dan dekat. Biar gue bisa merasakan rindu yang sebenar-benarnya. Biar 'pulang' bisa jadi kata yang paling diinginkan.

Mungkin selagi lebih jauh lagi dari rumah, tulisan-tulisan ini ke depannya bisa jadi self healing gue.
Sampai berjumpa lagi, Jakarta.
Selamat berteman, Tangerang.
Semoga semesta mendukung dan menemani langkah kaki ini entah mau ke mana nantinya.