May 13, 2012

Musik Jazz yang sempat terlupakan


Beberapa waktu lalu, ketika saya dan teman kelompok skripsi bimbingan dengan dosen, tiba-tiba terdengar alunan lagu Christian Bautista, The Way You Look At Me. Dosen pembimbing saya kemudian intermezo sedikit di tengah bimbingan, berbicara soal musik. Menurutnya, musik itu ada 2 jenis. Musik yang bikin terenyuh atau 'ngena' banget istilahnya sampai ke hati dan musik yang biasa-biasa saja. Nah musik yang 'ngena' banget ini biasanya seputar lagu-lagu patah hati. Menurut beliau lagi, lagu patah hati itu harus benar-benar dalaaaaammmm banget unsur 'sakit'nya yang diartikan pada lagu tersebut. 

Lagu The Way You Look At Me nya Christian Bautista ini menurutnya gak bisa sampai bikin beliau terenyuh. Dan biasanya lagu-lagu yang 'ngena' banget ini yang bisa buat beliau sampai nangis. Kemudian saya dan teman-teman saya, memberikan rekomendasi lagu dengan jenis yang sama, My Heart Will Go On - Celine Dion dan Someone Like You - Adele. Semua yang bisa buat sedih. Dan dugaan saya salah, 2 lagu yang disebutkan tadi ternyata tidak termasuk jenis yang dimaksudkan dosen saya. Ia berpendapat bahwa lagu My Heart Will Go On itu tingkatannya belum sampai sedih banget, masih setengah-setengah, gak sampai dalammm banget sakitnya. Mungkin iya. Tapi saya langsung berpendapat tentang lagu Adele. Lagu Someone Like You itu kan lagu paling dalammm banget terasa sakitnya. Dari liriknya terlihat jelas. Apalagi mendengarkan Adele nyanyi dan meresapinya. Saya sih ikut terbayang bagaimana sakitnya seperti yang diceritakan dalam lirik. Tapi dosen saya kontra dengan saya, beliau mengatakan bahwa lagu Adele itu belum termasuk lagu yang bisa bikin beliau nangis. Masih ada unsur fun ketika dibawakan oleh Adele sendiri. Tapi itu kan lagu galau. Galau itu kan buat para pendengar musik Adele saja, sebenarmya ketika si pendengar menikmati lagu tersebut seolah-seolah terkesan sengaja galau bukan galau sebenarnya, artinya disini, sok digalau-galau-in. Sebenarnya sih gak begitu. Kan yang ngetrend sekarang ini adalah galau. Sedikit-sedikit galau. Itu menurut dosen saya. Benar juga ya, pikir saya.

Lagu sekarang yang sebenarnya tidak berlebihan menjadi sangat berlebihan ketika pendengar lagu tersebut seakan-akan melebih-lebihkannya dengan porsi yang sangat berlebihan (berapa kali ya saya ngomong 'lebih'?). Ya, memang itu kenyataannya. Saya memikirkan dan meresapi apa yang dibicarakan oleh dosen saya. Menurutnya lagu yang dalaammm banget dan 'ngena' banget itu seperti lagu After All - Cher ft Peter Cetera. Bisa dibilang saya gak kenal dengan lagu ini, karena bukan jaman saya. Tapi rasa penasaran saya membuat saya mencari apa yang ada di balik lagu tersebut. Ternyata saya sama sekali tidak menemukan apa-apa di lagu tersebut. Biasa saja malah menurut saya. Kalau dibilang malah 'ngena' lagu Adele banget daripada Cher ft Peter Cetera ini. Memang musik itu soal selera.

Bicara soal musik, dosen saya kemudian berbicara soal jazz. Jazz yang sempat terlupakan. Saya udah lama gak mendengar lagu jazz. Jazz saya ini tidak terlalu berat seperti classic jazz. Saya lebih menyukai jazz dengan alunan saxophone lembut seperti Dave Koz. Benar-benar nikmat mendengarnya. Atau lainnya seperti Norah Jones yang masih tetap memukau dan Andien dengan pop jazznya. Masih banyak musisi yang memiliki genre musik jazz, ada Barry Likumahua, Tompi, Jamie Cullum, David Foster dan masih banyak lagi.

Dosen saya mengatakan bahwa ia setiap minggu menikmati alunan musik jazz di PIM. Sebelumnya ia tidak mengerti sama sekali genre musik ini. Ini apa sih. Musik paling abstrak yang pernah ada. Yang gak jelas nadanya mau dibawa kemana. Suatu ketika, ia diajak temannya untuk menikmati musik jazz setiap weekend di daerah Kuningan, menikmati setiap sore sambil duduk dan minum. Terus secara berturut-turut. Dan lama-lama, ia baru mengerti bahwa oh ini toh jazz. Jazz ternyata baru bisa dimengerti dengan menikmatinya secara live. Kali ini saya setuju dengannya. Musik itu baru bisa benar-benar dinikmati ketika kita para pendengar sekaligus penontonnya menikmati secara live atau langsung, kita akan merasa terbawa juga mengikuti aliran musik yang dinikmati. Sama halnya dengan konsep menonton konser live. Ada yang sering bilang ke saya, ngapain sih nonton konser buang-buang duit mahal-mahal, mendingan nonton di Youtube, gratis, nyaman lagi. Kalau saya tidak. Kalian gak akan pernah tahu ketika kalian menyukai suatu hal seperti musik yang kalian sukai dengan benar-benar menikmatinya, dalam arti semua panca indera kalian terfokus pada musik tersebut. Rasanya beda sekali, dengan euforia yang ada jauh berbeda sangat dengan hanya nonton siaran ulang di video. Mungkin memang mahal, itu benar. Tapi terbayar dan bernilai buat para penikmat musik.

Penikmat jazz biasanya orang-orang cerdas. Itu menurut dosen saya. Tapi saya belum bisa membuktikannya. Banyak sih yang bilang seperti itu. Yang saya tahu, seperti Ireng Maulana, Ermy Kulit, Indra Lesmana masih bisa eksis sampai sekarang keberadaannya membawakan musik jazz. Saya suka dengan jazz pertama kali mungkin ketika saya SMA. Saya adalah tipe orang yang pergi ke suatu mall hanya 2 tujuan utama, ya kalo gak ke toko buku, tujuan terakhir adalah toko musik. Dulu setiap ke mall saya selalu ke toko musik mencari apa ya yang baru. Saya mencoba mendengar musik jazz dengan niat sendiri. Tidak ada yang memperkenalkannya. Satupun. Akhirnya telinga saya membawa saya ke alunan saxophone Dave Koz dan suara merdu Norah Jones. 

Sampai sekarang 2 musisi jazz internasional tersebut yang paling saya cinta. Atau mungkin telinga saya belum bisa membuka musik jazz lain selain itu. Sempat terlupakan musik jazz ini, saya sudah tidak lagi hunting album-album jazz ke 2 musisi tersebut. Tapi belum lama, ketika pikiran suntuk, hati ingin tenang, saya berlari ke alunan musik jazz ini lagi. Memutar CD album Norah Jones terus menerus. Menggantinya dengan CD albumnya yang lain. Santai dan tenang rasanya menikmati alunan musik jazz Norah Jones membuat saya merasakan bahwa inilah jazz. Memang berbeda dengan genre musik lain. Yang mengerti akan menikmatinya, masa bodoh dengan yang penilaian orang lain bahwa menurut mereka jazz adalah musik untuk tidur. Tapi jazz adalah jazz. Santai dengan soul-soulnya yang selalu tenang di telinga dan hati para penikmatnya.

Saya cukup terkesan dan bangga dengan teman-teman muda sekarang, karena mereka respect dengan jazz ditandai adanya banyak acara musik atau festival musik yang ada mengangkat genre musik jazz. Dari yang bertaraf internasional atau jazz goes to campus. Wuih kereenn.

Jadi, jangan lupakan musik jazz. Dan jangan pernah menyalahkan selera musik seseorang, karena mereka punya alasan untuk itu.

3 comments:

nuel said...

yup gue setuju.. kata guru musik gue dulu pas SMA, ada beberapa genre musik yang emang bisa merangsang kecerdasan seperti klasik, dan jazz

eh anyway, kalo mau musik yang kata dosen lu itu, coba deh dengerin musik requim (CMIIW) nya mozart.. dijamin mewek. huehehee

becanda doang deb. ^^V

Claude C Kenni said...

Setuju, musik teh memang sesuai selera, dan kadang suatu lagu berkesan/tidak tergantung kenangan yg menyertainya. Bisa aja lagu Balonku Ada Lima jadi berkesan akibat kita pernah ada kenangan bareng cinta pertama kita yg berkaitan dengan lagu tersebut.

Tapi gua ngerti kenapa dosen lu ga suka lagu Adele. Buat kita2 yg hidup di era 90an, lagu2 jaman sekarang tuh terkesan terlalu ringan dan kurang feeling. Gua pernah denger lagu Someone Like You nya Adele yg lagi terkenal itu dan kesan pertama gua waktu denger lagu itu...meh...ini lagu sedih tapi kok yg nyanyinya ga kerasa sedih?

Tapi ya ujung2nya balik lagi ke soal selera sih. Buat gua, lagu patah hati yg sedih banget tuh Heaven Knows by Rick Price dan Ocean Deep by Cliff Richard. Coba dengerin deh kalo ada waktu, hehehe.

Deby Christi said...

@nuel : santai nuel :) kalo requim nya Mozart gue beneran gak ngerti itu. :D
@Claude C Kenni : gue setuju dengan lagu Heaven Knows nya Rick Price :)