Menurut saya egois itu adalah sikap atau tindakan dimana kita sebagai manusia tidak bisa menempatkan situasi yang dirasakan orang lain. Manusia itu plural. Kita sebagai manusia tidak boleh bersikap seenaknya sendiri, semaunya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Kalau mau seenaknya sendiri, semaunya sendiri tinggal aja di pulau yang gak berpenghuni, cuma ada anda seorang diri sama pohon kelapa (itu juga kalau ada, kalau gak gersang pulaunya). Tinggal sendirian seperti film Cast Away yang diperankan oleh Tom Hanks. Memang ia bebas melakukan semaunya di pulau tempat ia terdampar, tapi malah jadi stres sendiri, ngomong aja sama bola voli. Kalau mau jadi egois atau udah jadi egois kita bisa aja ngomong sendirian sama bola voli atau mungkin lebih parah lagi sama tembok.
Jadi egois yang gak punya orang lain buat berbagi. Gak bisa atau mungkin gak mau bersosialisasi dengan yang lainnya. Hidupnya cuma buat dia sendiri, cuma mikirin pendapat sendiri, pikiran sendiri, perasaan sendiri, gak mau melihat apa yang sebenarnya ada, gak mau tahu pendapat orang lain, pikiran orang lain, perasaan orang lain. Kalau udah begini, susah jadinya.
Beberapa kutipan yang diambil dari Samuel Mulia:
"Yang waras yang ngalah". Maksudnya jangan terlalu dipusingkan dengan apa yang dilakukan seorang yang egois. Kalau kalian merasa lebih waras daripada yang egois itu, mengalah lah. Mengalah bukan berarti kalah kok. Mengalah itu bukan berarti pecundang. Mengalah itu memang sulit dilakukan, tapi saya berusaha untuk mencoba dengan segala keegoisan yang saya terima. Wujud tindakan mengalah yang saya lakukan adalah diam. Saya gak bilang kalian harus diam terus. Tapi selagi masih merasa diegoiskan oleh orang lain, diam aja. Kalau memang mereka sulit untuk diberitahu, mau bagaimana lagi?
"Apakah benar manusia sekarang semakin tak punya nurani, tak peduli, egois? Yang penting aku, aku, dan aku. Apakah nilai-nilai toleransi itu juga mulai menipis?"
"Apakah mereka (orang-orang egois) juga tahu, tetapi pura-pura tak tahu. Apakah mungkin mereka memiliki filosofi hidup macam begini, 'kalau bisa nyusahin orang mengapa harus membahagiakan?' Mungkin memang benar kali ya, di pikiran orang yang egois itu selalu ada pikiran untuk menyusahkan orang, tanpa peduli bahkan tanpa mau sedikit membahagiakan orang lain. Padahal sedikit aja mau dengerin masalah orang lain gak cuma masalah anda sendiri itu sudah bisa membuat orang lain tersenyum loh. Bahkan bahagia."
"Mengapa manusia itu bisa begitu egoisnya?"
"Mengapa susah sekali berpikir menyenangkan orang lain. Nah kalau sudah begini, nurani saya mulai turut berkicau dan dengan mudah ia melontarkan pertanyaan yang sama kepada saya. Saya tak menjawab. Nurani saya berteriak, lo tahu enggak, jeng, situasi yang sekarang lo hadapin itu upah dari apa yang lo tabur. Kalau dulu lo pernah begitu egoisnya dan orang lain sengsara karenanya dan lo enggak inget atau pura-pura enggak inget, nah...sekarang lo rasa."
"Saya kaget setengah mati. Ya, ya ya...benar adanya. Saya marah karena orang begitu egoisnya, begitu tak sabarnya. Saya lupa saya juga pernah melakukan itu. Saya sedang diberi pelajaran ada harga yang selalu harus dibayar dari sebuah perbuatan. Mau itu masa lampau, maupun masa sekarang. Bentuk pembayarannya bermacam cara sesuai apa yang pernah saya tabur."
"Nurani saya masih belum puas dan tampaknya tak pernah puas. Kalu lo selalu omong mau jadi orang sabar, jadi orang pemaaf, yaaah...monggo, situasi ini dinikmati aja. Menjadi mulia itu perlu dibentuk dari hal-hal sulit, bukan yang mudah saja. Makanya neng, kalau omong atau minta sesuatu itu dipikir dulu masak-masak. Jangan asal nyeplos..."
"Sadari anda dan saya hidup di dunia bukan untuk menyenangkan hati anda, tetapi menyenangkan Sang Khalik. Jadi, obyektif menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk Sang Pencipta, bukan untuk udel anda dan saya. Sama sekali tidak. Saya kok percaya, wujud Sang Khalik itu yaaa...ada dalam wujud bernama sesama manusia. Jadi, kalau anda dan saya kurang ajar dengan sesama, anda sedang kurang ajar sama Sang Pencipta. Kok berani?"
"Kalau anda menggertak sesama, ingat sesama itu adalah ciptaan Tuhan. Kok berani menggertak hasil ciptaan Sang Pencipta? Apalagi menggertak dalam keadaan bersalah. Anda bukan pemenang, anda justru pecundang. Anda tahu pecundang itu apa? Seseorang yang tak berani mengakui dirinya salah."
Jadi egois yang gak punya orang lain buat berbagi. Gak bisa atau mungkin gak mau bersosialisasi dengan yang lainnya. Hidupnya cuma buat dia sendiri, cuma mikirin pendapat sendiri, pikiran sendiri, perasaan sendiri, gak mau melihat apa yang sebenarnya ada, gak mau tahu pendapat orang lain, pikiran orang lain, perasaan orang lain. Kalau udah begini, susah jadinya.
Beberapa kutipan yang diambil dari Samuel Mulia:
"Yang waras yang ngalah". Maksudnya jangan terlalu dipusingkan dengan apa yang dilakukan seorang yang egois. Kalau kalian merasa lebih waras daripada yang egois itu, mengalah lah. Mengalah bukan berarti kalah kok. Mengalah itu bukan berarti pecundang. Mengalah itu memang sulit dilakukan, tapi saya berusaha untuk mencoba dengan segala keegoisan yang saya terima. Wujud tindakan mengalah yang saya lakukan adalah diam. Saya gak bilang kalian harus diam terus. Tapi selagi masih merasa diegoiskan oleh orang lain, diam aja. Kalau memang mereka sulit untuk diberitahu, mau bagaimana lagi?
"Apakah benar manusia sekarang semakin tak punya nurani, tak peduli, egois? Yang penting aku, aku, dan aku. Apakah nilai-nilai toleransi itu juga mulai menipis?"
"Apakah mereka (orang-orang egois) juga tahu, tetapi pura-pura tak tahu. Apakah mungkin mereka memiliki filosofi hidup macam begini, 'kalau bisa nyusahin orang mengapa harus membahagiakan?' Mungkin memang benar kali ya, di pikiran orang yang egois itu selalu ada pikiran untuk menyusahkan orang, tanpa peduli bahkan tanpa mau sedikit membahagiakan orang lain. Padahal sedikit aja mau dengerin masalah orang lain gak cuma masalah anda sendiri itu sudah bisa membuat orang lain tersenyum loh. Bahkan bahagia."
"Mengapa manusia itu bisa begitu egoisnya?"
"Mengapa susah sekali berpikir menyenangkan orang lain. Nah kalau sudah begini, nurani saya mulai turut berkicau dan dengan mudah ia melontarkan pertanyaan yang sama kepada saya. Saya tak menjawab. Nurani saya berteriak, lo tahu enggak, jeng, situasi yang sekarang lo hadapin itu upah dari apa yang lo tabur. Kalau dulu lo pernah begitu egoisnya dan orang lain sengsara karenanya dan lo enggak inget atau pura-pura enggak inget, nah...sekarang lo rasa."
"Saya kaget setengah mati. Ya, ya ya...benar adanya. Saya marah karena orang begitu egoisnya, begitu tak sabarnya. Saya lupa saya juga pernah melakukan itu. Saya sedang diberi pelajaran ada harga yang selalu harus dibayar dari sebuah perbuatan. Mau itu masa lampau, maupun masa sekarang. Bentuk pembayarannya bermacam cara sesuai apa yang pernah saya tabur."
"Nurani saya masih belum puas dan tampaknya tak pernah puas. Kalu lo selalu omong mau jadi orang sabar, jadi orang pemaaf, yaaah...monggo, situasi ini dinikmati aja. Menjadi mulia itu perlu dibentuk dari hal-hal sulit, bukan yang mudah saja. Makanya neng, kalau omong atau minta sesuatu itu dipikir dulu masak-masak. Jangan asal nyeplos..."
"Sadari anda dan saya hidup di dunia bukan untuk menyenangkan hati anda, tetapi menyenangkan Sang Khalik. Jadi, obyektif menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk Sang Pencipta, bukan untuk udel anda dan saya. Sama sekali tidak. Saya kok percaya, wujud Sang Khalik itu yaaa...ada dalam wujud bernama sesama manusia. Jadi, kalau anda dan saya kurang ajar dengan sesama, anda sedang kurang ajar sama Sang Pencipta. Kok berani?"
"Kalau anda menggertak sesama, ingat sesama itu adalah ciptaan Tuhan. Kok berani menggertak hasil ciptaan Sang Pencipta? Apalagi menggertak dalam keadaan bersalah. Anda bukan pemenang, anda justru pecundang. Anda tahu pecundang itu apa? Seseorang yang tak berani mengakui dirinya salah."