Rasanya masih ada. Sesak, sedih, Hilang.
Tepatnya kemarin malam, saya bermimpi tentang ayah. Lupa tak tau dimana. Tapi saat itu tergambar jelas di mimpi, keadaannya tegang, panik, dan kacau. Ayah tersedak hingga tak bisa bernapas, saya mencoba berusaha sekuat tenaga melakukan pertolongan pertama. Tapi tak tertolong. Saat bermimpi, saya menangis sejadi-jadinya, terisak. Hingga saya terbangun, saya pun masih menangis. Cukup lama. Hati ini tak siap walau hanya mimpi.
Saya tak dekat dengan ayah. Bukan berada di suatu hubungan antara ayah dan anak perempuan yang akrab. Malah canggung untuk berkata-kata jika bersama. Mungkin perkara kebiasaan yang menjadi tidak biasa dan seoah-olah tidak apa-apa tapi sebenarnya kenapa-kenapa. Ada rahasia yang saya tahu ayah sembunyikan. Ada kesalahan dan penyesalan ayah yang saya tahu betul belum selesai hingga saat ini. Sehingga hal itu seakan menjadi tanggung jawab yang tak selesai-selesai dirampungi ayah. Memang sudah tugas seorang ayah bertanggung jawab dalam keluarga. Namun satu hal ini berbeda. Mungkin ayah sempurna menjadi seorang ayah pekerja keras, penafkah istri dan pelindung anak-anaknya. Tapi ayah bagi saya belum bisa bertanggung jawab untuk kepahitan yang dialami istri dan anak-anaknya hingga saat ini. Atau mungkin salah satu dari kami belum memaafkan atau menerima?
Terlepas dari yang terjadi sampai saat ini. Hati saya memang tak siap ditinggal ayah. Janji saya untuk diri sendiri adalah belum sempat merekam suaranya. Suatu saat mungkin akan berguna untuk saya ketika rindu itu muncul dan ayah sudah tak ada.
Untuk ayah, biarpun bibir ini tak pernah berucap. Doaku selalu ada untukmu. Sehat dan terus dilindungi. Saya cinta ayah.